Dunia Seakan Sempit
Saya mendapat ide ini berdasarkan pengalaman yang saya dan teman saya alami secara nyata atau yang biasa disebut dengan empiris.
#MenjagaApi
Cerita bermula ketika saya duduk di bangku SMA tahun pelajaran 2014/2015 ini. SMA ini sebenarnya bukanlah SMA favoritku meskipun menggandeng nama "Negeri" dibelakangnya. Aku sangat kecewa, bukan karena masalah nilai rata-rata UN melainkan masalah Kartu Keluarga. Sehingga aku harus terpaksa mencari sekolah yang mempunyai nem luarnya lebih rendah dengan nem ku. Aku sebelumnya bersekolah di luar DKI Jakarta, meski aku sudah pindah sekolah dan ikut kakakku di Jakarta semenjak kelas 4 SD, kakakku hingga saat ini belum pernah mengganti domisiliku dari luar ke dalam propinsi. Hal inilah yang menyebabkan faktor utama kenapa aku bersekolah di SMAN yang jarakanya lumayan jauh dari rumah, sehingga terpaksa harus berangkat menggunakan sepeda motor.
Yah, mengingat kakak adalah seorang pekerja kantoran yang sangat sibuk, aku makulmi saja hal itu. Yang lalu biarlah berlalu.
Kembali ke masa SMA sekarang. Meski jarak antar sekolah ke rumah jauh, hal itu tidak membuatku patah semangat. Mengingat padatnya lalu lintas kota Jakarta, masih mending dibandingkan dengan mereka, para pelajar Indonesia di daerah pelosok yang berjuang keras demi pergi ke sekolah yang jaraknya berlipat lipat dibanding sekolahku, terlebih ada diantaranya berjuang "menantang maut" menyeberangi sungai berarus deras dengan jembatan yang sudah tidak layak dipakai. Bahkan meski masih bisa dipakai, diantaranya terbuat dari bambu tua yang rapuh dan rawan roboh sewaktu - waktu tanpa diketahui.
"Sekolah Outbond" Sumber : www.riautoday.com |
Terlebih tujuan mereka yang utama yaitu sekolah. Ya, sekolah tempat menuntut ilmu yang mereka idamkan merupakan tempat yang sangat sederhana dengan minim fasilitas bahkan minim tenaga pengajar. Mereka belajar di sekolah dengan fasilitas seadanya.
"Gubuk Belajar" Sumber : www.pwt-48.blogspot.com |
Untuk itulah aku masih sangat bersyukur mengingat masih ada saudara sepelajar yang bisa dikatakan kurang beruntung nasibnya dibandingkan denganku. Aku disini bisa pergi ke sekolah dengan sepeda motor, pun bila tidak ada sepeda motor, aku bisa mengandalkan angkutan umum berupa mikrolet dengan ongkos minimal Rp. 5000,- per harinya.
Di SMA Negeri tempatku menuntut ilmu, aku bertemu beberapa teman baru yang juga merupakan pelajar buangan. Ternyata aku selama ini tidak sendirian. Ya, kami biasa menyebut diri kami sebagai pelajar buangan. Itu artinya kami adalah pelajar dari domisili Katu Keluarga luar Ibukota yang tidak kesampean menyabet SMA Negeri favorit. Yang paling mengejutkan adalah ada diantaranya merupakan pelajar yang tinggalnya lebih jauh dari rumahku ke sekolah, meski nilai UN nya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai UN ku. Memang, sungguh mengecewakan. Namun, mereka tidak patah semangat untuk terus berprestasi, begitu juga denganku, aku harus bisa lebih unggul dibanding teman - temanku yang lain yang berbeda SMA, kami boleh beda SMA namun prestasi harus BISA!
Hal itulah yang menjadikanku semakin bersyukur kepada Allah SWT karena ternyata masih ada saja mereka yang kurang beruntung dibandingkan denganku. Aku patut mensyukurinya. Aku akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar cita - cita dimasa depan dengan perjuangku sendiri tanpa bantuan orang lain. Mungkin benar, peringkat semata hanyalah bacaan, nilai semata hanyalah angka, tapi skills atau kemampuan adalah pembuktian akan diriku yang sebenarnya.
Dunia seakan terasa sempit ketika kita terus mengeluh terus menerus tanpa melihat sekeliling. Namun, bila kita teliti, ternyata kekurangan kita sendiri itulah yang sebenarnya harus kita keluhkan. Layaknya kutipan dari Franklin D. Roosevelt. "Satu satunya yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri".
#MenjagaApi
Comments
Post a Comment